TAFSIR SURAT AL BAQARAH AYAT 146-153

By | 01/07/2015

Tafsir Al Qur’an Surat Baqarah Ayat 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, Dan 153.
Baca juga tulisan sebelumnya, yaitu Tafsir Al Baqarah Ayat 142-145.

Ayat 146-150: Informasi tentang Ahli Kitab, bagaimana mereka sampai menyembunyikan kebenaran dan menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap menentang dan sombong, dan dalam beberapa ayat ini terdapat dalil wajibnya menghadap ke Ka’bah dalam shalat

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٤٦) الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (١٤٧) وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٤٨) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٩) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلأتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٥٠

146. Orang-orang yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri[1]. Sesungguhnya sebagian mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya).

147. Kebenaran itu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu[2].

148. Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya[3]. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan[4]. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya (pada hari kiamat)[5]. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

149. Dan dari mana saja kamu keluar[6], hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu[7]. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan[8].

150. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka[10]. Janganlah kamu takut kepada mereka[11], tetapi takutlah kepada-Ku[12], dan agar Aku-sempurnakan nikmat-Ku kepadamu[13], dan agar kamu mendapat petunjuk[14].

Ayat 151-153: Mengingatkan kaum mukmin terhadap nikmat Allah yang besar kepada mereka dengan diutus-Nya rasul terakhir, serta terdapat pengarahan untuk mereka agar menggunakan sabar dan shalat sebagai pembantu untuk mencapai tujuan

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (١٥١) فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ (١٥٢) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (١٥٣

151.[15] Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami[16], menyucikan kamu[17] dan mengajarkan kepadamu kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah[18], serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui[19].

152. Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu[20]. Bersyukurlah kepada-Ku[21], dan janganlah kamu ingkar[22] kepada-Ku.

153. Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[23], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar[24].


[1] Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengabarkan bahwa ahli kitab telah yakin dan mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang rasul, dan apa yang Beliau bawa adalah hak (benar). Mereka meyakininya sebagaimana mereka meyakini anak-anak mereka sendiri dan mereka bisa membedakannya dengan yang lain. Oleh karena itu, pengetahuan mereka telah sampai kepada tingkatan yakin yang tidak dimasuki keraguan, akan tetapi kebanyakan mereka kafir kepada Beliau, menyembunyikan persaksian tersebut padahal mereka mengetahuinya. Dalam ayat di atas, terdapat hiburan bagi rasul dan kaum mukmin serta mengingatkan mereka agar berhati-hati terhadap tindakan jahat orang-orang ahli kitab dan syubhat mereka.

[2] Yakni jangan sampai masih menancap di hati keraguan meskipun sedikit.

Agar seseorang lebih yakin lagi hendaknya memikirkan isinya, karena dengan memikirkan isinya dapat menghilangkan keraguan dan memperoleh keyakinan.

[3] Masing-masing umat memiliki kiblat sendiri dalam ibadahnya. Menghadap kiblat tertentu termasuk syari’at yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi serta zamannya, ia bisa dimasuki oleh naskh dan mengalami perubahan dari arah tertentu kepada arah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah menta’ati perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan menjauhi larangan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya, inilah tanda kebahagiaan.

[4] Perintah berlomba-lomba dalam kebaikan lebih dalam daripada sebatas perintah mengerjakan kebaikan. Dalam perintah ini mengandung perintah mengerjakannya, menyempurnakannya, melakukannya sebaik mungkin dan bersegera kepadanya. Barangsiapa yang bersegera kepada kebaikan ketika di dunia, maka dia adalah orang yang lebih dulu ke surganya. Oleh karena itu, mereka yang berlomba-lomba dalam kebaikan adalah orang yang paling tinggi derajatnya. Dan kata “kebaikan” di sini mencakup semua amalan fardhu maupun sunat, baik berupa shalat, puasa, zakat, hajji, Umrah, jihad, manfa’at bagi orang lain maupun sebatas untuk diri sendiri.

[5] Karena pendorong yang paling kuat agar seseorang dapat bersegera kepada kebaikan dan bersemangat kepadanya adalah pahala yang dijanjikan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, maka Dia berfirman seperti yang disebutkan di atas; yakni Allah Subhaanahu wa Ta’aala akan mengumpulkan kita semuanya di mana saja kita berada dengan kekuasaan-Nya, dan Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal, jika amalnya buruk, maka Dia akan membalas sesuai amal yang dikerjakannya dan jika baik, maka Dia akan membalas dengan berlipat ganda dan memberikan balasan yang terbaik (surga). Ayat yang mulia ini juga mengandung perintah untuk segera melaksanakan kewajiban seperti shalat di awal waktu, segera membayar hutang puasa dan segera berhajji serta anjuran untuk melaksanakan amalan-amalan sunat.

[6] Yakni keluar bersafar atau keperluan lainnya, kemudian hendak mendirikan shalat.

[7] Pada ayat di atas menggunakan dua penguat, huruf “inna” dan “lam” (sesungguhnya dan benar-benar) agar tidak perlu lagi ragu dan agar tidak timbul perkiraan bahwa perintah menghadap ke Ka’bah itu hanyalah karena lebih enak, bahkan ia merupakan perintah yang sesungguhnya.

[8] Yakni bagaimana pun keadaan kita, Dia senantiasa memperhatikan dan melihatnya. Hal ini menghendaki agar kita tetap menjaga perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

[9] Perintah menghadap ke kiblat adalah agar ahli kitab dan kaum musyrikin tidak memiliki alasan lagi untuk menentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu, karena jika tetap menghadap ke Baitul Maqdis tentu orang-orang ahli kitab akan menegakkan hujjah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka adalah bahwa kiblat yang tetap bagi Beliau adalah Ka’bah Baitullah al haram. Sedangkan hujjah bagi orang-orang musyrikin ketika Beliau tetap menghadap ke Baitul Maqdis adalah perkataan yang akan timbul dari mereka, “Bagaimana Beliau berada di atas agama Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan termasuk keturunannya, padahal Beliau tidak menghadap ke kiblatnya?!”. Dengan demikian, setelah diadakan pemindahan kiblat, maka orang-orang ahli kitab dan kaum musyrikin sudah tidak memiliki hujjah lagi untuk menentang Beliau.

[10] Yakni hanya orang-orang yang zalim saja yang coba-coba berhujjah, namun hujjah mereka tidak bersandar selain kepada hawa nafsu sehingga tidak perlu diladeni, karena tidak ada manfa’atnya berbantah dengan mereka.

[11] Kita tidak perlu takut kepada mereka karena hujjah mereka batil, dan kita diperintahkan untuk takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala saja, karena takut kepada-Nya merupakan asas semua kebaikan. Oleh karena itu, orang yang tidak takut kepada Allah Azza wa Jalla, ia tidak akan berhenti bermaksiat dan tetap tidak mau mengikuti perintah-Nya.

Perlu diketahui, bahwa pemindahan arah kiblat merupakan fitnah yang besar. Fitnah itu diangkat-angkat oleh ahli kitab, kaum munafik dan kaum musyrikin, mereka banyak membicarakan masalah itu dan menyampaikan berbagai syubhat. Oleh karena itu, pada beberapa ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkannya secara gamblang dan meyakinkan rasul-Nya serta memperkuat kebenaran itu dengan berbagai penguat sebagaimana yang disebutkan di beberapa ayat atas, misalnya:

– Diulangi-Nya perintah menghadap kiblat berkali-kali

– Perintah itu tidak hanya ditujukan kepada Rasul saja, meskipun biasanya perintah kepada rasul sebagai perintah kepada umatnya, tetapi diperkuat lagi dengan perintah kepada umatnya sebagaimana firman-Nya “fa walluu wujuuhakum syathrah”.

– Pada ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’aala membantah semua alasan batil yang dilemparkan oleh mereka yang zalim.

– Menghilangkan harapan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti kiblat ahli kitab.

– Penguatan dengan berita yang disampaikan-Nya bahwa sesungguhnya hal itu benar-benar hak dari sisi Allah.

– Pemindahan kiblat tersebut disebutkan dalam kitab-kitab mereka (ahli kitab), namun mereka menyembunyikannya.

[12] Yakni dengan tetap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

[13] Berupa penyempurnaan syari’at. Dengan demikian, setiap syari’at yang ditetapkan merupakan nikmat yang besar. Dasar nikmat adalah memperoleh hidayah untuk mengikuti agama-Nya, setelah itu nikmat-nikmat yang lain yang melengkapi dasar tersebut, dimulai dari sejak diutusnya Beliau sampai wafat hingga syari’at pun sempurna.

[14] Maksudnya: agar kita mengetahui yang hak dan dapat mengamalkannya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala karena rahmat-Nya telah memudahkan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab untuk memperoleh hidayah dan mengingatkan mereka untuk menempuhnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga menjelaskan hidayah itu sejelas-jelasnya, sampai-sampai ditetapkan untuk yang hak itu ada para penentangnya agar yang hak itu semakin jelas dan nampak serta yang batil semakin jelas kebatilannya. Hal itu, karena jika tidak ada kebatilan sebagai lawan yang hak tentu kebenaran itu akan samar bagi kebanyakan orang. Dengan ada lawannya maka segala sesuatu itu semakin jelas. Jika tidak ada malam tentu tidak akan diketahui kelebihan siang, jika tidak ada keburukan tentu tidak akan diketahui kelebihan yang baik, jika tidak ada kegelapan tentu tidak akan diketahui manfa’at cahaya, dan jika tidak ada kebatilan tentu kebenaran tidak akan jelas dan nampak, maka sehgala puji bagi Allah terhadap semua itu.

[15] Nikmat Allah untuk menghadap ke kiblat dan penyempurnaan syari’at bukanlah hal yang baru dan bukan pertama kali, bahkan Dia juga telah memberikan ushulun ni’am (asas nikmat) dan penyempurnanya, yaitu dengan mengutus seorang rasul yang sudah dikenal nasabnya, kejujurannya, amanahnya, kesempurnaan dan sikap nush-h(tulus)nya.

[16] Ayat-ayat tersebut menerangkan mana yang hak dan mana yang batil, mana petunjuk dan mana kesesatan, menerangkan tentang tauhid, tentang kebenaran Rasul-Nya serta kewajiban beriman kepadanya, menerangkan tentang hari kiamat dan hal-hal ghaib serta menerangkan syari’at untuk maslahat mereka di diunia sehingga mereka memperoleh hidayah yang sempurna dan ilmu yang yakin.

[17] Maksudnya: menyucikan akhlak dan jiwa mereka dengan mendidiknya di atas akhlak yang mulia dan membersihkannya dari akhlak yang tercela yang mengotori jiwa. Misalnya dengan membersihkan mereka dari syirk kepada tauhid, dari riya’ kepada ikhlas, dari dusta kepada kejujuran, dari khianat kepada amanah, dari sombong kepada tawadhu’ dan dari semua akhlak buruk kepada akhlak yang mulia serta perbaikan-perbaikan lainnya.

[18] As Sunnah dan hukum-hukum syari’at (fiqh).

[19] Seperti kisah para nabi dan kisah umat-umat terdahulu dan pengetahuan lainnya, di mana mereka sebelum diutusnya Beliau dalam kesesatan yang nyata, tidak ada ilmu apalagi amal. Oleh karena itu, ilmu maupun amal yang diketahui oleh umat ini adalah melalui tangan dan sebab Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nikmat-nikmat ini merupakan ushulun ni’am (asas nikmat), bahkan ia merupakan nikmat terbesar yang menghendaki untuk disyukuri.

[20] Dzikrullah yang paling utama adalah jika diucapkan oleh lisan dan meresap di hati, inilah dzikr yang membuahkan ma’rifatullah (mengenal Allah), kecintaan-Nya dan pahala yang besar. Allah Subhaanahu wa Ta’aala di ayat ini memerintahkan kita untuk mengingat-Nya dan Dia menjanjikan balasan yang besar bagi mereka yang mengingat-Nya sebagaimana firman-Nya dalam hadits Qudsi: “Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik daripadanya.” (Lihat Shahihul Jami’ no. 8137)

Dzikr adalah pusat syukur, oleh karena itu di ayat ini diperintahkan secara khusus untuk berdzikr, kemudian setelahnya diperintahkan secara umum untuk bersyukur.

[21] Yakni atas nikmat-nikmat Allah yang diberikan dan dihindarkan-Nya dari berbagai musibah. Syukur itu bisa dengan hati, yakni dengan mengakuinya, bisa dengan lisan yaitu dengan memujinya dan dengan anggota badan yaitu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Disebutkan perintah bersyukur setelah nikmat-nikmat agama berupa ilmu, penyucian jiwa dan taufiq untuk beramal untuk menerangkan bahwa nikmat-nikmat agama merupakan nikmat yang paling besar, bahkan ia merupakan nikmat yang hakiki yang akan kekal ketika semuanya sirna, dan sepatutnya bagi mereka yang diberi taufiq mencari ilmu dan mengamalkannya bersyukur kepada Allah terhadap nikmat tersebut agar Allah menambahkan karunia-Nya dan agar mereka dijauhkan dari sifat ujub.

[22] Ingkar atau kufur yang dimaksud di sini adalah ingkar kepada nikmat dan tidak mensyukurinya. Bisa juga makna kufur di sini adalah umum, yang paling parahnya adalah kufur kepada Allah kemudian maksiat yang berada di bawah syirk.

[23] Ada pula yang mengartikan: mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan kaum mukmin untuk menghadapi urusan mereka baik terkait dengan agama maupun dunia dengan sabar dan shalat. Sabar artinya menahan diri terhadap hal-hal yang tidak disukai. Ia terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, sabar dalam menjalankan perintah Allah. Kedua, sabar dalam menjauhi larangan Allah, dan ketiga, sabar dalam menghadapi musibah yang menimpa dengan tidak keluh kesah. Sabar berdasarkan ayat ini merupakan pertolongan yang paling besar dalam menghadap segala perkara.

Sedangkan shalat diperintahkan juga agar dijadikan sebagai penolong karena shalat adalah tiang agama dan cahaya kaum mukmin, ia merupakan sarana penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika shalat sesorang hamba sempurna, menggabungkan yang wajib dengan yang sunat, ia pun melaksanakannya dengan khusyu’ dan merasakan sedang berdiri di hadapan Tuhannya sebagaimana berdirinya seorang hamba yang menjadi pelayan dengan memperhatikan adab yang baik, memperhatikan apa yang dia baca dan dia lakukan, maka sudah pasti shalat tersebut menjadi penolong terbesar dalam semua masalah. Shalat tersebut akan mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, dan shalat seperti inilah yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah.

[24] Allah Subhaanahu wa Ta’aala bersama mereka yang memiliki akhlak dan sifat sabar dengan memberikan pertolongan dan taufiq-Nya, sehingga masalah-masalah sukar dan berat menjadi ringan.

Tags: Tafsir Lengkap, Al Quran Digital, Arti Ayat Al Quran, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Ayat Ayat Al Quran, Download Tafsir Al Quran, Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki, Tafsir Al Quran Online, Tafsir Quran Indonesia, Terjemahan Al Quran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.