TAFSIR SURAT SHAD AYAT 1-11

By | 22/02/2018

Tafsir Al Qur’an Surat Shad Ayat yang ke: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11.

Surat ini adalah surat ke-38, terdiri dari 88 ayat, dan termasuk kedalam golongan surat Makkiyyah.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-3: Sikap orang-orang kafir terhadap Al Qur’anul Karim.

صٓ ۚ وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ (١) بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ (٢) كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ فَنَادَوْا وَلاتَ حِينَ مَنَاصٍ (٣)

Terjemah Surat Saad Ayat 1-3

1. [1]Shaad, demi Al Quran yang mengandung peringatan[2].

2. Tetapi orang-orang yang kafir (berada) dalam kesombongan dan permusuhan.

3. [3]Betapa banyak, sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.

Ayat 4-11: Bantahan terhadap orang-orang yang mengingkari rasul dari kalangan manusia, dan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala di Tangan-Nya perbendaharaan langit dan bumi.

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ (٤) أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (٥) وَانْطَلَقَ الْمَلأ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ (٦)مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الآخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلا اخْتِلاقٌ (٧) أَؤُنْزِلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ مِنْ بَيْنِنَا بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ مِنْ ذِكْرِي بَلْ لَمَّا يَذُوقُوا عَذَابِ (٨) أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَحْمَةِ رَبِّكَ الْعَزِيزِ الْوَهَّابِ (٩) أَمْ لَهُمْ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَلْيَرْتَقُوا فِي الأسْبَابِ (١٠) جُنْدٌ مَا هُنَالِكَ مَهْزُومٌ مِنَ الأحْزَابِ (١١)

Terjemah Surat Shad Ayat 4-11

4. [4]Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, “Orang ini adalah pesihir yang banyak berdusta.”

5. [5]Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja[6]? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan.

6. [7]Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka[8] (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki[9].

7. Kami tidak pernah mendengar hal ini[10] dalam agama yang terakhir[11]; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan,

8. mengapa Al Quran itu diturunkan kepada dia di antara kita[12]?” [13]Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap Al Quran-Ku, [14]tetapi mereka belum merasakan azab-Ku[15].

9. Atau apakah mereka itu mempunyai perbendaharaan rahmat Tuhanmu Yang Mahaperkasa lagi Maha Pemberi[16]?

10. Atau apakah mereka mempunyai kerajaan langit dan bumi[17] dan apa yang ada di antara keduanya? (Jika ada), maka biarlah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit)[18].

11. (Mereka itu) kelompok besar bala tentara yang berada di sana yang akan dikalahkan[19].
______________
[1] Ayat ini menerangkan tentang keadaan Al Qur’an, keadaan orang-orang yang mendustakannya dan keadaan orang yang datang membawanya.

[2] Yakni memiliki kedudukan yang agung, mulia dan mengingatkan segala yang dibutuhkan manusia, seperti pengetahuan tentang nama-nama Allah, sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Demikian pula pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i dan pengetahuan tentang hukum-hukum jaza’i (pembalasan) di akhirat. Ia mengingatkan kepada mereka ushul (dasar-dasar) agama mereka dan furu’(cabang-cabang)nya. Di ayat ini tidak perlu menyebutkan hal yang disumpahi, karena hakikatnya yakni yang dipakai bersumpah dan hal yang disumpahi sama, yaitu Al Qur’anul Karim yang disifati dengan sifat yang agung ini. Jika demikian keadaan Al Qur’an, maka dapat diketahui secara pasti bahwa manusia butuh sekali kepadanya, bahkan di atas semua kebutuhan. Oleh karena itu, mereka wajib mengimani dan membenarkannya serta mendatanginya. Maka Allah menunjuki orang yang Dia beri petunjuk kepada Al Qur’an ini, akan tetapi orang-orang kafir malah bersikap sombong dari beriman kepadanya dan memusuhi orang yang membawanya (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) serta berusaha membantahnya.

[3] Di ayat ini Allah mengancam mereka dengan menyebutkan pembinasaan-Nya terhadap umat-umat tedahulu yang mendustakan para rasul, di mana ketika azab dan kebinasaan datang kepada mereka, mereka berteriak meminta tolong agar dihindarkan azab itu dari mereka, padahal ketika itu bukan lagi waktu untuk melarikan diri. Oleh karena itu, hendaknya mereka (orang-orang kafir) takut jika tetap sombong lagi memusuhi, bahwa mereka akan ditimpa azab seperti yang menimpa umat-umat sebelum mereka.

[4] Mereka yang mendustakan merasa heran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengherankan, yaitu karena datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka sendiri (manusia). Padahal maksud diutus dari kalangan mereka adalah agar mereka dapat menimba langsung nasehat-nasehat dan peringatan dan agar mereka dapat mengikuti aktifitas kesehariannya yang diridhai oleh Allah Rabbul ‘aalamin, dan lagi Beliau berasal dari suku mereka sendiri, sehingga tidak ada penghalang kesukuan yang membuat mereka tidak mau mengikutinya. Hal ini seharusnya membuat mereka bersyukur dan tunduk secara sempurna. Akan tetapi sikap mereka malah kebalikannya, mereka merasa heran sekali terhadapnya dan mengingkarinya, serta mengatakan kata-kata yang muncul dari kekafiran dan kezaliman mereka, yaitu, “Orang ini adalah pesihir yang banyak berdusta.”

[5] Kesalahan Beliau menurut mereka adalah karena Beliau menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja, yakni menurut mereka, mengapa ia (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarang mengadakan sekutu dan tandingan dan memerintahkan hanya beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

[6] Yakni –menurut mereka-, cukupkah satu tuhan untuk semua makhluk? Mereka tidak menyadari bahwa Dia satu-satunya Rabbul ‘alamin; yang sendiri menciptakan, menguasai, memberi rezeki dan mengatur alam semesta.

[7] Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Ketika Abu Thalib sakit, maka beberapa orang Quraisy yang di antaranya Abu Jahal masuk menemuinya, lalu mereka berkata, “Sesungguhnya putera saudaramu mencaci-maki sesembahan kami, berbuat ini dan itu serta berkata ini dan itu. Mengapa engkau tidak kirim orang untuk melarangnya? Lalu Abu Thalib mengirim orang kepada Beliau, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, dan masuk ke dalam rumah tersebut, sedangkan jarak antara Beliau dengan Abu Thalib seukuran tempat duduk seseorang. Lalu Abu Jahal la’natullah ‘alaih merasa khawatir jika Beliau duduk di samping Abu Thalib nanti membuatnya simpati kepada Beliau, maka ia segera loncat dan duduk di majlis itu, dan ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendapatkan majlis yang dekat dengan pamannya, maka ia duduk di dekat pintu. Lalu Abu Thalib berkata kepada Beliau, “Wahai anak saudaraku, mengapa kaummu selalu mengeluhkan tentangmu dan mengatakan bahwa kamu mencaci-maki sesembahan mereka, dan berkata ini dan itu?” Lalu orang-orang di sana menambahkan lagi kata-katanya, dan mulailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara, “Wahai paman, sesungguhnya aku menginginkan dari mereka satu kalimat yang mereka ucapkan, di mana bangsa Arab akan mengikutinya, dan nanti orang-orang di luar Arab akan membayar pajak untuk mereka.” Lalu mereka kaget dengan kalimat itu dan kepada perkataannya.” Maka orang-orang berkata, “Ya, satu kalimat, namun kami akan gantikan kalimat itu dengan sepuluh kalimat. Apa kalimat itu?” Abu Thalib juga berkata, “Kalimat apa itu wahai putera saudaraku?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laailaahaillallah (artinya: Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah).” Lalu mereka bangkit dalam keadaan kaget sambil mengibas kain mereka dan berkata, “Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan.” (HR. Ibnu Jarir, Ahmad, Nasa’i, dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma). Namun hadits ini didha’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if At Tirmidzi no. 3232).

[8] Yakni tokoh-tokoh masyarakat yang ucapannya diterima sambil mendorong kaum mereka untuk tetap teguh berpegang dengan kesyirkkan yang selama ini mereka lakukan.

[9] Maksudnya, menurut orang-orang kafir bahwa menyembah tuhan-tuhan itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah. Mahasuci Allah dari anggapan mereka ini. Bisa juga maksud mereka adalah, bahwa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa larangan berbuat syirk adalah sesuatu yang ada maksudnya, yakni Beliau memiliki niat tidak baik ketika melarang berbuat syirk. Ini merupakan syubhat yang biasanya laris di kalangan orang-orang yang bodoh, karena orang yang mengajak kepada yang hak (benar) atau tidak hak tidaklah dibantah perkataannya dengan mencela niatnya, karena niat dan amalnya adalah urusannya, jika ingin membantahnya, maka dengan menghadapinya menggunakan sesuatu yang dapat membatalkannya berupa hujjah dan bukti. Menurut persangkaan mereka juga, bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kepada Allah adalah agar Beliau menjadi pemimpin di tengah-tengah kaumnya, dimuliakan dan diikuti oleh mereka.

[10] Yakni seruan kepada tauhid.

[11] Yang dimaksud oleh orang-orang kafir Quraisy dengan agama yang terakhir ialah agama Nasrani yang menigakan tuhan.

[12] Yakni padahal dia bukanlah orang yang paling tua di antara kami dan bukan pula orang mulia (terhormat). Syubhat ini di dalamnya juga tidak terdapat hujjah untuk menolak Beliau, yakni alasan seperti ini bukanlah merupakan hujjah.

[13] Oleh karena ucapan mereka itu tidak pantas untuk membantah apa yang Beliau bawa, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa ucapan itu muncul dari keraguan-raguan yang ada dalam hati mereka, bukan didasari ilmu apalagi bukti. Ketika mereka telah berada di dalam keragu-raguan dan mereka ridha dengannya, padahal kebenaran telah datang kepada mereka dengan jelasnya, tetapi mereka malah bertekad kuat untuk tetap di atas keragu-raguannya dan sikap membangkang, sehingga mereka mengatakan kata-kata yang maksudnya menolak yang hak, bukan berasal dari bukti tetapi berasal dari kedustaan mereka.

[14] Sudah menjadi maklum, bahwa orang yang seperti ini sifatnya, yang berbicara atas dasar keragu-raguan dan sikap membangkang, maka ucapannya tidaklah diterima, tidak dapat mencacatkan kebenaran meskipun sedikit, dan bahwa karena ucapan itu, celaan dan cercaan malah berbalik kepada mereka. Oleh karena itulah, Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengancam mereka dengan firman-Nya, “Tetapi mereka belum merasakan azab-Ku.” Yakni mereka mengatakan kata-kata itu dan berani mengucapkannya adalah karena mereka mendapatkan kenikmatan di dunia dan belum merasakan azab Allah ‘Azza wa Jalla.

[15] Sekiranya mereka merasakan azab Allah, tentu mereka akan membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan mengatakan kata-kata seperti itu, namun ketika mereka telah mendapatkan azab, maka keimanan tidak lagi bermanfaat.

[16] Sehingga mereka memberikan rahmat (seperti kenabian dan lainnya) dan mencegahnya kepada siapa yang mereka kehendaki sebagaimana perkataan mereka, “Mengapa Al Quran itu diturunkan kepada dia di antara kita?” Padahal yang demikian adalah karunia Allah dan rahmat-Nya, dan hal itu bukan di tangan mereka sehingga mereka tidak bisa menghalangi pemberian Allah itu.

[17] Sehingga mereka mampu melakukan semua yang mereka inginkan.

[18] Yakni biarlah mereka naik ke langit untuk mengambil wahyu lalu menyerahkan kepada orang yang mereka kehendaki atau biarlah mereka naik ke langit untuk memutuskan rahmat yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak bisa, maka mengapa mereka berbicara terhadap sesuatu yang mereka sangat lemah sekali terhadapnya. Atau apakah maksud mereka adalah membuat pasukan atau kelompok besar serta berkumpul untuk bersama-sama membela yang batil dan menolak kebenaran, dan seperti ini kenyataannya. Padahal usaha mereka untuk berkumpul bersama memerangi yang hak (benar) akan sia-sia dan tentara mereka akan dikalahkan sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.

[19] Ketika terjadi perang Khandak (parit), pasukan kafir terdiri dari beberapa golongan, yaitu golongan kaum musyrik, orang-orang Yahudi dan beberapa kabilah Arab yang menyerang kaum muslimin di Madinah. Peperangan ini berakhir dengan kocar-kacirnya tentara mereka. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud di sini ialah peperangan Badar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.