Tafsir Al Qur’an Surat Baqarah Ayat 256, 257, 258, 259, Dan 260.
Baca juga tafsir ayat sebelumnya disini.
Ayat 256: Kelapangan Islam dan tidak dipaksanya seseorang masuk ke dalam agama Islam
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 256
256.[1] Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)[2], sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat[3]. Barang siapa ingkar kepada Thaghut[4] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus[5]. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui[6].
Ayat 257: Allah Subhaanahu wa Ta’aala Pelindung orang-orang mukmin, sedangkan orang-orang kafir pelindung mereka adalah setan
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 257
257. Allah pelindung[7] orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)[8]. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran)[9]. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.
Ayat 258: Kisah Namrud yang mendebat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tentang Tuhannya
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 258
258. Tidakkah kamu tidak memperhatikan orang[10] yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya[11], hanya karena Allah telah memberikan kepada orang itu kerajaan (kekuasaan)[12]. Ketika Ibrahim berkata[13]: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.”[14] Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Lalu terdiamlah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim[15].
Ayat 259: Kisah orang yang melewati kampung yang roboh, dan di sana terdapat dalil bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala berkuasa membangkitkan manusia yang telah mati
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 259
259. Atau (tidakkah kamu memperhatikan) orang yang melewati suatu negeri[16] yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya[17], dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Lalu Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal (di sini)?” Dia menjawab: “Aku tinggal di sini sehari atau setengah hari[18].” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum beubah[19]; dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia[20]. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), dia pun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat 260: Kisah Ibrahim ‘alaihis salam dan pembangkitan orang-orang yang telah mati, hal ini agar ia bertambah tenang
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 260
260.[21] Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah kamu[22]?” Ibrahim menjawab: “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap)[23].” Allah berfirman: “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah[24] olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit[25] satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa[26] lagi Maha Bijaksana[27].
[1] Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Ada seorang wanita yang miqlaat (yakni wanita yang nampak tidak mungkin bisa hidup lagi seorang anak), ia pun bernadzar jika masih bisa hidup seorang anak di sisinya, maka ia akan menjadikannya Yahudi. Ketika Bani Nadhir diusir, dan di sana terdapat anak-anak orang Anshar. Mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami”, maka Allah menurunkan ayat, “Laa ikraaha fid diin, qat tabayyanar rusydu minal ghayy.” (Hadits ini diriwayatkan oleh para perawi kitab shahih, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, dan As Suyuthi dalam Lubaabunnuqul menyandarkan kepada Nasa’i. Ibnu Hibban juga meriwayatkannya dalam Mawaariduz Zham’aan hal. 427)
[2] Syaikh As Sa’diy berkata: “Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut agama karena memang tidak butuh adanya pemaksaan. Hal itu, karena memaksa tidaklah dilakukan kecuali dalam hal yang masih samar tandanya, masih tersembunyi hasilnya atau dalam hal yang memang dibenci oleh jiwa. Adapun agama dan jalan yang lurus ini, maka telah jelas tanda-tanda (kebenarannya) oleh akal, telah jelas jalannya dan telah nampak perkaranya, telah diketahui petunjuknya dan bukan kesesatan. Oleh karena itu, orang yang memperoleh taufiq apabila memperhatikan agama ini meskipun sebentar, niscaya dia akan mendahulukan dan memilihnya. Sedangkan orang yang buruk niatnya, rusak pilihannya dan buruk jiwanya, maka ketika melihat yang hak, dia lebih memilih yang batil, saat ia melihat yang bagus, maka ia lebih memilih yang jelek. Orang seperti ini, Allah tidak butuh memaksanya menganut agama ini karena tidak ada nilai dan faedahnya. Di samping itu, orang yang dipaksa imannya tidaklah sah. Namun demikian, ayat ini tidaklah menunjukkan agar kita tidak memerangi orang-orang kafir harbiy (yang memerangi Islam). Tetapi maksudnya, bahwa hakikat agama ini sesungguhnya menghendaki untuk diterima oleh setiap orang yang adil, yang tujuannya mencari yang hak. Adapun masalah memerangi atau tidaknya, tidaklah ditunjukkan olehnya. Bahkan, kewajiban berperang diambil dari nash-nash yang lain. Akan tetapi dari ayat yang mulia ini, dapat dipakai dalil diterimanya jizyah (pajak) dari selain ahlul kitab sebagaimana hal itu merupakan pendapat kebanyakan ulama.”
[3] Yakni telah jelas berdasarkan ayat-ayat yang begitu jelas bahwa iman adalah petunjuk dan kekafiran adalah kesesatan. Ayat ini turun berkenaan tentang sebagian orang Anshar yang memiliki anak, di mana dia hendak memaksa mereka masuk Islam.
[4] Thaghut ialah setan dan apa saja yang disembah selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
[5] Di mana tali yang dipegangnya dapat menyelamatkan dan menjaganya dari terjatuh ke dalam neraka.
[6] Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan mereka serta mengetahui niatnya, dan Dia akan memberikan balasan terhadap semua itu.
[7] Dengan memberikan pertolongan, taufiq dan penjagaan.
[8] Demikian pula Allah akan mengeluarkan mereka dari kegelapan kubur, kegelapan sewaktu hasyr (pengumpulan manusia), kegelapan pada hari kiamat kepada nikmat yang kekal, tempat peristirahatan yang sesungguhnya, keleluasaan dan kebahagiaan.
[9] Disebutkan bahwa orang-orang kafir wali mereka adalah setan, di mana setan itu mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan adalah sebagai kebalikan orang-orang yang beriman, di mana wali mereka adalah Allah, dan Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Ayat ini bisa juga ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang sebelumnya beriman kepada nabi sebelum diutusnya, namun setelah diutus, mereka kafir sehingga dikatakan “mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada kegelapan (kekafiran)”, wallahu a’lam.
[10] Yaitu Namrudz dari Babilonia. Yakni berani sekali ia mendebat sesuatu yang sudah yakin dan tidak ada keraguan lagi.
[11] Tentang keesaan Allah dan tentang rububiyyah-Nya (kepengurusan-Nya) terhadap alam semesta.
[12] Sehingga dirinya bersikap sombong, sampai-sampai ia menyangka dapat berbuat seperti yang diperbuat Allah.
[13] Sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Ibrahim, “Siapakah Tuhan yang kamu mengajak kami menyembahnya?”
[14] Maksud kata-kata raja Namrudz “menghidupkan” ialah membiarkan hidup, dan yang dimaksud dengan mematikan ialah membunuh. Perkataan itu untuk mengejek Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
[15] Yakni Allah membiarkan mereka di atas kekafiran dan kesesatan, Karen merekalah yang memilih hal tersebut untuk diri mereka. Kalau seandainya, niat mereka mencari yang hak dan mencari hidayah, tentu Allah akan memberi mereka petunjuk dan memudahkan kepada mereka sebab-sebab untuk memperolehnya.
[16] Ada yang mengatakan bahwa negeri itu adalah Baitul Maqdis dahulu, orang yang melewatinya dengan berkendaraan keledai adalah Uzair. Ia pun berkata dengan nada ta’ajjub (bingung) “Bagaimana caranya Allah menghidupkan negeri yang telah hancur ini?”
Namun Syaikh As Sa’diy dalam tafsirnya berpendapat bahwa orang tersebut sebelumnya adalah orang yang mengingkari adanya kebangkitan, lalu Allah menghendaki ia memperoleh kebaikan dan ingin menjadikannya sebagai bukti bagi manusia. Ia beralasan dengan tiga alasan berikut:
Pertama, perkataannya “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” jika memang ia seorang nabi atau hamba yang shalih, tentu tidak akan mengatakan kata-kata seperti itu.
Kedua, Allah Subhaanahu wa Ta’aala memperlihatkan ayat-Nya pada makanan, minuman, keledainya dan pada dirinya agar ia dapat melihat secara langsung sehingga dapat mengakui hal yang sebelumnya diingkari.
Ketiga, firman Allah ” Maka ketika telah nyata kepadanya ” yakni telah nyata sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya atau samar baginya. Wallahu a’lam.
Dalam kisah di atas terdapat bukti bahwa Allah mampu menghidupkan yang mati, sebagaimana Allah menghidupkan orang tersebut, menghidupkan keledainya serta menjaga makanan dan minumannya sehingga tidak berubah.
[17] Karena dirobohkan oleh raja Bukhtanasshar.
[18] Kata-kata ini diucapkan karena ia tidur di pagi hari lalu dicabut nyawanya, kemudian dihidupkan kembali menjelang matahari tenggelam, walahu a’lam.
[19] Meskipun sudah bertahun-tahun. Pada yang demikian itu terdapat dalil yang jelas kemahakuasaan Allah, yang mampu menjaga makanan itu sehingga tidak berubah meskipun telah berlalu masa yang lama, padahal makanan merupakan sesuatu yang paling cepat berubah menjadi basi dan tidak bisa dimakan lagi.
[20] Yakni bukti atas kemahakuasaan Allah untuk membangkitkan manusia yang telah mati.
[21] Dalam ayat ini tedapat dalil hissiy (inderawi) yang menunjukkan Allah mampu menghidupkan orang yang telah mati dan memberikan balasan. Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menceritakan tentang kekasih-Nya, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bahwa dia pernah meminta kepada Allah agar diperlihatkan secara langsung bagaimana Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati. Hal itu, karena dia sudah yakin dengan apa yang diberitakan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, akan tetapi ia ingin menyaksikan langsung dengan mata kepala agar memperoleh tingkatan ‘ainul yakin (melihat langsung yang tidak mungkin lagi dihinggapi keraguan).
[22] Yakni “Apakah kamu belum percaya bahwa Aku dapat menghidupkan yang mati”. Meskipun Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengetahui keimanan yang dalam yang ada pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
[23] Yakni agar bertambah keyakinannya.
[24] Disebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam hanya memegang potongan kepalanya, lalu Ibrahim memanggil burung-burung yang telah terpotong-potong itu, sehingga bagian-bagian itu berterbangan menyatu dengan bagiannya yang lain sehingga sempurna, kemudian terbang menuju kepalanya yang ada di sisi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
[25] Yakni bukit yang dekat dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
[26] Dia memiliki kekuatan yang besar untuk menundukkan semua makhluk, dan tidak ada satu pun yang dapat mengalahkan-Nya. Namun demikian, tindakan-Nya di atas kebijaksanaan.
[27] Baik dalam perkataan-Nya, perbuatan-Nya, syari’at yang dibuat-Nya maupun taqdir-Nya. Oleh karena itu, Dia tidaklah bertindak main-main atau kosong dari hikmah.
Tags: Tafsir Lengkap, Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki, Terjemahan Al Quran Online Indonesia.