FAEDAH-FAEDAH DARI SURAT YUSUF

By | 14/11/2016

Kumpulan Faedah yang dapat diambil dari Surat Yusuf

Baca juga: Tafsir Al Qur’an Surat Yusuf.

Berikut ini kami sebutkan di antara pelajaran atau faedah dari kisah Nabi Yusuf yang banyak kami ambil dari buku 100 Faidah Min Suurah Yusuf karya Syaikh M. bin Shalih Al Munajjid dan tafsir Syaikh As Sa’diy:

1. Hendaknya seorang bapak memperhatikan pendidikan anaknya, mengkondisikan anaknya agar siap menerima pemahaman, ilmu dan fiqh serta memberikan perhatian lebih, terutama bagi mereka yang menunjukkan keseriusan.

2. Mimpi yang baik berasal dari Allah.

3. Tidak menceritakan nikmat karena ada maslahat adalah boleh agar tidak ada orang yang hasad kepadanya.

4. Setan masuk ke tengah-tengah hubungan persaudaraan, ia memanaskan hati sebagiannya sehingga menjadikan mereka bermusuhan setelah sebelumnya bersaudara.

5. Seorang bapak hendaknya bersikap adil di antara anak-anaknya sedapat mungkin, dan jika salah seorang di antara mereka berhak mendapat perhatian lebih, maka sedapat mungkin janganlah ia tampakkan agar tidak membuat yang lain cemburu.

6. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memilih siapa saja di antara hamba-Nya menjadi orang pilihan-Nya dan yang demikian merupakan nikmat. Kita misalnya, al hamdulillah Dia menjadikan kita manusia tidak menjadi benda mati, terlebih Dia menjadikan kita sebagai orang-orang muslim. Kita berharap kepada-Nya agar Dia mengistiqamahkan kita di atas agama-Nya sampai akhir hayat dan mengumpulkan kita bersama orang-orang yang diberi-Nya nikmat, Allahumma amin.

7. Dari rumah yang baik akan lahir generasi yang baik. Oleh karena itu, hendaknya kita memperhatikan lingkungan keluarga dan membinanya di atas ajaran Islam.

8. Kecemburuan dapat menjadikan pemiliknya menimpakan bahaya dan gangguan.

9. Lebih dari itu kecemburuan dapat membawa kepada melakukan tipu daya dan pembunuhan.

10. Tobat yang direncanakan sebelum melakukan perbuatan dosa adalah tobat yang rusak; bukan tobat nashuha. Karena kita tidak mengetahui, apakah setelah melakukan perbuatan dosa kita masih istiqamah di atas ajaran agama atau tidak?

11. Apabila seseorang bersangka buruk terhadap orang lain, maka tidak baik jika ia mengajari orang lain tersebut hujjah karena akan dipakainya untuk menyerang dirinya. Seperti mengatakan, “Aku takut nanti dia dimakan serigala” ternyata kata-kata dipakai sebagai hujjahnya.

12. Orang yang berpura-pura menampakkan sesuatu, sedangkan keadaannya berbeda akan terbuka di hadapan orang yang berpandangan dalam (ahlul bashiirah), meskipun ia menggunakan sandiwara.

13. Menggunakan qarinah (tanda) dan disyari’atkannya beramal menggunakan qarinah, karena Nabi Ya’qub melihat baju Yusuf yang tidak robek, tidak mungkin serigala memakan Yusuf dengan melepaskan bajunya lebih dahulu lalu memakannya.

14. Bolehnya mengadakan lomba. Perlu diketahui, bahwa perlombaan ada tiga macam:
a. Boleh dengan adanya hadiah, yaitu pada perlombaan pacuan kuda, pacuan unta dan lomba memanah (termasuk menembak) sebagaimana dalam hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ سَبَقَ اِلاَّ فِي خُفٍّ اَوْ نَصْلٍ اَوْ حَافِرٍ

“’Tidak ada hadiah perlombaan, kecuali dalam pacuan unta, memanah atau pacuan kuda.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Dikhususkan tiga hal ini karena ketiga hal ini termasuk alat perang yang diperintahkan mempelajarinya karena membantu jihad (termasuk pula lomba lari, renang, gulat, dan semisalnya). Di antara ulama ada pula yang memasukkan ke dalam perlombaan yang boleh memakai hadiah, yaitu perlombaan yang membantu menyiarkan agama, seperti lomba menghapal Al Qur’an, menghapal sunnah, dan menghapal ilmu. Ada pun lomba yang bermanfaat, tetapi tidak semakna dengan lomba yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka menurut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Ibnu Hazm adalah tidak diperbolehkan adanya hadiah. Namun sebagian ulama berpendapat boleh diberikan hadiah dengan syarat hadiah tersebut bukan dari peserta lomba agar selamat dari perjudian.
b. Boleh dengan tanpa hadiah, yaitu lomba-lomba bermanfaat selain yang semakna dengan yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
c. Perlombaan yang haram, seperti mengadu hewan. Hal ini tidak boleh, baik dengan hadiah maupun tidak, karena di dalamnya terdapat penyiksaan terhadap hewan. Termasuk perlombaan yang haram juga adalah bermain tinju karena di dalamnya terdapat memukul muka, dan perlombaan lainnya yang di sana tedapat perkara haram, seperti terbuka aurat, terdapat judi, dsb.

15. Bolehnya memberitahukan hal yang masih meragukan (belum jelas keadaan yang sebenarnya) agar orang lain bertobat.

16. Tidak mengapa menampakkan kegembiraan karena mendapatkan hal yang menggembirakan.

17. Menjual orang yang merdeka dan memakan hasilnya termasuk dosa besar.

18. Nikmat Allah kepada Nabi Yusuf ‘alaihis salam karena Allah menumbuhkannya di tengah-tengah keluarga terhomat.

19. Pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu dan hikmah.
20. Bahayanya berduaan dengan wanita dalam rumah.

21. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menolong wali-wali-Nya di saat yang sangat berat dengan beberapa perkara yang menguatkan mereka.

22. Seseorang apabila tidak mendapat pertolongan Allah dan taufiq-Nya tentu tidak dapat teguh di atas kebenaran.

23. Persaksian orang yang terdekat lebih kuat daripada persaksian orang yang jauh.

24. Besarnya tipu daya wanita, demikian pula fitnah(godaan)nya.

25. Cepatnya berita tersebar di kalangan wanita.

26. Malaikat merupakan makhluk yang sangat indah, dan hal itu tertanam dalam diri manusia.

27. Seorang muslim apabila diberikan pilihan antara berbuat maksiat dengan sabar di atas penderitaan, hendaknya memilih untuk bersabar dan taat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala meskipun manusia menuduh jelek terhadapnya.

28. Manusia adalah lemah jika tidak mendapat taufiq dari Allah Azza wa Jalla.

29. Pengabulan Allah terhadap doa wali-wali-Nya dan doa orang-orang yang ikhlas.

30. Tanda orang saleh dapat diketahui pula dari raut mukanya.

31. Seorang da’i apabila hendak mengajarkan kebenaran kepada manusia, hendaknya ia menjadikan mereka percaya kepadanya terlebih dahulu, agar kata-kata yang akan disampaikannya diterima mereka.

32. Dakwah yang pertama kali didahulukan oleh seorang da’i adalah dakwah tauhid.

33. Menakwil mimpi termasuk fatwa. Oleh karena itu, berbicara tentangnya tanpa ilmu seperti berfatwa tanpa ilmu.
34. Bolehnya mencari cara yang mubah agar selamat.

35. Mimpi yang benar bisa saja dialami orang kafir, namun jarang. Biasanya dialami orang mukmin.

36. Perintah berhemat dalam mengeluarkan harta.

37. Yusuf ‘alaihis salam menerangkan bahwa setelah tujuh tahun kemarau, akan turun hujan (yakni pada tahun ke-15), adalah dengan memperhatikan tujuh tahun dalam keadaan lapang, tujuh tahun kemudian dalam keadaan susah, maka setelahnya menunjukkan akan datang tahun yang lapang lagi.

38. Seorang da’i hendaknya tidak keluar berdakwah kecuali setelah dirinya bersih di lingkungan sekitarnya. Hal itu, karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam ketika masuk penjara, Beliau dituduhkan dengan berbagai tuduhan, maka ketika akan keluar dari penjara, Beliau meminta raja untuk bertanya kepada wanita tentang keadaan sebenarnya.

39. Boleh meminta jabatan apabila hanya dia yang mampu melakukannya tanpa membahayakan dirinya dan niatnya untuk memberi manfaat secara umum, bukan untuk kepentingan pribadinya, dan lagi ia seorang yang berpengalaman atau ahli, di mana jika diserahkan kepada orang lain akan sia-sia atau hilang maslahat. Hal itu, karena orang yang bangkit memikul suatu tugas karena khawatir akan hilangnya sesuatu seperti orang yang diberi tanpa meminta; karena pada umumnya orang yang seperti ini tidak tamak terhadap jabatan itu.

40. Allah akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang saleh apabila niatnya baik, dan seseorang tidaklah diberikan kekuasaan sampai diuji terlebih dahulu.

41. Setelah kesulitan ada kemudahan, dan setelah ujian ada keberhasilan. Perhatikanlah kisah Yusuf! Sebelumnya Beliau dimusuhi oleh saudara-saudaranya sampai dimasukkan ke dalam sumur, dijual sebagai budak, merasakan penderitaan sebagai seorang budak, masuk ke dalam penjara, dan setelah ujian itu dilaluinya dan dihadapinya dengan sabar Allah berikan kekuasaan kepadanya.

42. Yusuf ‘alaihis salam melakukan tiga kesabaran; sabar di atas ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi larangan Allah, dan sabar dalam menerima taqdir Allah.

43. Hendaknya seseorang memuliakan tamunya dan mencukupi kebutuhan musafir, serta menjadikannya sebagai kebiasannya.

44. Harus menggunakan sarana yang mubah untuk mencapai maksud (tujuan) yang syar’i atau mubah.

45. Tidak patut seorang mukmin terjatuh ke dalam lubang dua kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

Seorang mukmin tidak pantas dipatuk dua kali dari lubang yang sama.” (HR. Bukhari)

46. Tawakkal merupakan sebab dihindarkan dari perkara yang tidak diinginkan.

47. Memuliakan manusia dapat menarik hati mereka.

48. Seseorang apabila tidak mampu melakukan sesuatu, maka dia diberi uzur.

49. Memberitahukan tawakkal kepada Allah setelah akad diikat antara kedua belah pihak dapat menambah keberkahan, kebaikan dan mengingatkan kedua belah pihak terhadap akadnya.

50. Melakukan sebab untuk menghindari bahaya ‘ain (pengaruh dari mata yang jahat) atau lainnya merupakan hal yang disyari’atkan.

51. Seseorang hendaknya menghindarkan tuduhan orang lain terhadap dirinya, sehingga tidak melakukan tindakan yang membuat orang lain curiga.

52. Menggunakan sebab adalah hal yang diperintahkan syara’ dan didukung akal, akan tetapi kita harus meyakini, bahwa sebab tidak dapat menolak qadha’.

53. Hendaknya sesama saudara saling memuliakan.

54. Adanya syari’at ju’alah. Ju’alah adalah seseorang yang kehilangan sesuatu mengatakan, “Barang siapa yang menemukan barangku yang hilang, maka ia akan memperoleh misalnya 100.000,00.” Ju’alah berbeda dengan ijarah (mengupah terhadap suatu pekerjaan yang diketahui). Dalam ju’alah, pekerjaannya belum jelas. Akan tetapi, dalam ju’alah upahnya harus jelas meskipun pekerjaannya masih majhul (belum jelas).

55. Bolehnya melakukan akad kafalah (menjamin).

56. Hendaknya seseorang melakukan perencanaan apabila hendak melakukan sesuatu.

57. Wajibnya berhukum dengan syari’at Allah (kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya) dan tidak boleh berhukum dengan undang-undang jahiliyyah.

58. Hendaknya seseorang tidak meremehkan masalah janji dan menyadari tanggung jawabnya yang besar.

59. Seseorang perlu menggunakan penguat apabila perkataannya nampak akan didustakan.

60. Kesabaran yang baik memperoleh akhir yang baik. Kesabaran yang baik itu adalah dengan mengeluhkan masalahnya kepada Allah, tidak keluh kesah dan marah-marah.

61. Hendaknya seseorang bersangka baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan hal ini termasuk konsekwensi tauhidnya. Perhatikanlah Nabi Ya’qub ‘alaihis salam! Dia dijauhkan dari anak kesayangannya selama kira-kira 20 tahun lebih. Meskipun demikian, ia tetap berkata, “Maka kesabaranku adalah kesabaran yang baik. Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku…dst.”

62. Menangis tidaklah menafikan kesabaran.

63. Hendaknya seseorang mengeluhkan masalahnya kepada Allah Ta’ala.

64. Perbedaan antara tahssus dan tajassus. Tahssus artinya mencari tahu kabar, sedangkan tajassus artinya memata-matai untuk mengetahui cela pada saudaramu. Tahassus dilakukan tanpa berusaha mendengarkan perkataan orang yang tidak suka didengarkan perkataannya, dan tidak melihat dari lubang jendela, sedangkan tajassus kebalikannya. Di samping itu, tahassus untuk perkara baik, sedangkan tajassus untuk perkara buruk.

65. Haramnya berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala.

66. Allah ‘Azza wa Jalla akan menguatkan orang yang dizalimi meskipun telah berlalu waktu yang lama, dan akan menjadikannya berada dalam kedudukan yang tinggi apabila dia bersabar dan bertakwa.

67. Seseorang apabila melihat saudaranya dalam keadaan sedih, maka janganlah menambah lagi kesedihannya, dan hendaknya tidak melanjutkan sesuatu yang membuatnya sedih. Di samping itu, tidak pantas seseorang bersenang-senang dengan penderitaan saudaranya. Oleh karena itu ketika Yusuf ‘alaihis salam melihat keadaan saudara-saudaranya, maka ia tidak menambah lagi kesedihannya dan tidak membalasnya.

68. Tidak boleh seseorang ketika mendapatkan kedudukan, lalu berkata, “Ini tidak lain berkat kecerdasan atau kehebatanku.” Bahkan ia wajib mengatakan, “Allah Ta’ala yang memberikan nikmat ini kepada kami.”

69. Hendaknya seseorang menggabung antara takwa dengan sabar, dan bahwa Allah akan memberikan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa dan bersabar.

70. Hendaknya seseorang memperhatikan perasaan saudaranya.

71. Termasuk akhlak mulia memaafkan ketika memiliki kemampuan.

72. Mendoakan orang yang berbuat salah kepada kita dengan doa, “Semoga Allah mengampunimu.

73. Dianjurkan memberikan kabar gembira.

74. Tentang meminta orang tua untuk memintakan ampunan kepada dirinya ketika durhaka.

75. Mengakui kesalahan termasuk ciri orang-orang yang berakal dan tidak sombong. Sebaliknya, tidak mengakui kesalahan termasuk ciri orang-orang yang bodoh lagi sombong.

76. Hendaknya mencari waktu-waktu mustajab ketika berdoa.

77. Hendaknya seseorang memuliakan kedua orang tuanya, dan berbakti kepada keduanya.

78. Hendaknya menenangkan orang yang takut.

79. Pada zaman dahulu boleh bersujud sebagai penghormatan, namun dalam syari’at kita dilarang. Hal ini menunjukkan bahwa syari’at sebelum kita menjadi syari’at kita apabila belum dihapus, dan sujud kepada sesama termasuk syari’at sebelum kita yang sudah dihapus.

80. Apa yang dilihat dalam mimpi bisa terjadi setelah sekian lama.

81. Hendaknya sesorang berusaha menjaga kata-katanya agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Perhatikanlah kata-kata Yusuf ‘alaihis salam, “Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah setan merusakkan (hubungan) antaraku dengan saudara-saudaraku.” Yusuf tidak mengatakan, “Setelah saudara-saudaraku menzalimiku.” Inilah akhlak para nabi.

82. Mengakui nikmat-nikmat Allah dalam setiap keadaan.

83. Terkadang Allah mengumpulkan antara dua orang atau lebih yang sebelumnya bertengkar menjadi bersatu kembali.

84. Seorang muslim apabila telah mendapatkan nikmat Allah secara sempurna, maka hendaknya ia meminta kepada-Nya agar diwafatkan dalam keadaan muslim dan memperhatikan sekali akhir hayatnya agar di atas husnul khatimah.

85. Kisah yang disebutkan dalam surah Yusuf ini termasuk kisah yang paling baik, di dalamnya terdapat keadaan yang silih berganti, dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, dari cobaan yang satu kepada cobaan selanjutnya, dari cobaan kepada kenikmatan, dari kehinaan kepada kemuliaan, dari perbudakan sampai menjadi raja, dari pertengkaran kepada persatuan, dari kesedihan kepada kegembiraan, dari kelapangan kepada kesempitan, dan dari kesempitan kepada kelapangan, serta dari pengingkaran kepada pengakuan. Maka Mahasuci Allah yang menceritakannya demikian indah dan jelas.

86. Ilmu takwil mimpi termasuk ilmu penting yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Di kisah tersebut terdapat asal (dasar) yang dijadikan prinsip utama dalam menakwil mimpi, yaitu adanya keserupaan dan kesesuaian baik nama maupun sifat. Dalam mimpi Yusuf misalnya, saat ia bermimpi melihat matahari dan bulan serta sebelas bintang yang sujud kepadanya terdapat sisi kesesuaiannya, yaitu bahwa cahaya-cahaya tersebut merupakan penghias langit dan yang menjadikannya indah serta memberikan manfaat, demikian juga para nabi dan ulama yang merupakan penghias bumi dan yang menjadikannya indah, melalui mereka dapat diketahui perjalanan di kegelapan. Termasuk sangat cocok, jika yang menjadi asalnya lebih bercahaya dan lebih besar. Oleh karena itulah matahari adalah ibunya, sedangkan bulan adalah bapaknya, sedangkan bintang-bintang adalah saudara-saudaranya. Di samping itu, lafaz syams (matahari) adalah lafaz mu’annats (bentuk perempuan), sehingga tepat jika ia sebagai ibunya, sedangkan lafaz qamar (bulan) dan kawakib (bintang) dengan lafaz mudzakkar (bentuk laki-laki), sehinga tepat jika maksudnya adalah bapak dan saudara-saudaranya.

87. Dalam kisah ini terdapat dalil kebenaran kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana Beliau mengisahkan kisah yang panjang dan menarik ini, padahal Beliau tidak pernah membaca buku-buku generasi terdahulu dan tidak pernah belajar kepada seorang pun.

88. Sepatutnya seseorang menjauhi sebab-sebab keburukan dan menyembunyikan sesuatu yang dikhawatirkan bahayanya.

89. Seseorang boleh menyebutkan hal yang tidak ia suka sebagai nasehat bagi yang lain.

90. Nikmat Allah kepada seorang hamba adalah nikmat yang terkait pula dengan keluarganya, kerabatnya dan kawan-kawannya, dan bisa saja mengena kepada mereka semua dengan sebabnya.

91. Berbuat adil selalu dituntut dalam semua masalah, tidak hanya dalam pemerintahan antara pemerintah dengan rakyatnya, tetapi dalam mu’amalah bapak dengan anaknya pun dituntut berbuat adil, baik dalam mencintai, mengutamakan maupun lainnya.

92. Satu dosa dapat mendatangkan dosa selanjutnya.

93. Yang diperhatikan dari seorang hamba adalah kesempurnaan di akhirnya bukan cacat di awalnya. Perhatikanlah anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihis salam meskipun melakukan perbuatan dosa, namun di akhirnya mereka bertobat. Oleh karenanya mereka kemudian menjadi ulama yang menunjukkan kepada kebaikan seperti bintang yang menghiasi langit dan membuatnya indah.

94. Nikmat Allah kepada Nabi Yusuf ‘alaihis salam dengan diberi-Nya akhlak yang mulia, diberi-Nya ilmu, hilm/santun (tidak lekas marah), berdakwah kepada Allah, berbakti kepada orang tua, memaafkan saudara-saudaranya yang bersalah, tidak mencerca mereka, dan menganggap bahwa yang sudah berlalu biarlah berlalu, sekarang adalah memperbaiki diri.

95. Hendaknya seseorang memilih madharat (bahaya) yang paling ringan jika dihadapkan dua madharat.

96. Sesuatu apabila telah beredar di tangan manusia dan sudah menjadi harta, serta tidak diketahui bahwa ia dari jalan yang tidak masyru’, maka tidak ada dosa bagi orang yang menjual dan membelinya, memanfaatkannya atau menggunakannya dan tidak perlu seseorang memberatkan diri dengan bertanya dari mana asal usulnya. Hal itu, karena Yusuf ‘alaihis salam dijual oleh saudara-saudaranya, di mana menjual orang merdeka adalah haram, lalu dibeli oleh sekelompok kafilah yang hendak pergi menuju Mesir, kemudian mereka menjualnya, dan Beliau ketika itu di sisi mereka sebagai budak. Di sana, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menamainya dengan syira’ (jual-beli).

97. Termasuk ibadah utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya adalah menahan hawa nafsunya dan lebih mengutamakan kecintaan Allah Ta’ala.

98. Barang siapa yang hatinya telah dimasuki keimanan, dan ia ikhlas karena Allah dalam segala urusannya, maka dengan iman dan kejujuran ikhlasnya, Allah akan menghindarkan segala macam keburukan, perbuatan keji dan sebab melakukan maksiat yang merupakan balasan terhadap keimanan dan keikhlasannya.

99. Seorang hamba sepatutnya apabila melihat ruang yang di sana terdapat fitnah dan sebab-sebab maksiat berusaha lari daripadanya semampunya agar dapat lolos dari jeratan maksiat.

100. Qarinah (tanda) dapat dipakai ketika terjadi kesamaran. Oleh karena itu, jika laki-laki dan wanita bertengkar dalam hal yang terkait dengan perabotan rumah, maka perabot yang cocok bagi laki-laki, ia untuk laki-laki, dan yang cocok dengan perempuan, maka ia untuk perempuan jika memang tidak ada bukti. Demikian pula apabila ada barang curian di tangan pencuri, sedangkan sebelumnya ia dikenal sebagai pencuri, maka ia dihukumi mencuri, dan apabila seseorang memuntahkan khamr atau seorang wanita yang tidak bersuami dan tidak bertuan hamil, maka ditegakkan had karenanya selama tidak ada penghalangnya.

101. Orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.

102. Ilmu dan akal mendorong pemiliknya kepada kebaikan dan mencegah pemiliknya mendekati keburukan, sedangkan kebodohan mendorong pemiliknya mengikuti hawa nafsu, jika berupa maksiat, maka akan membahayakan pelakunya.

103. Sebagaimana seorang hamba harus beribadah kepada Allah di waktu lapang, ia pun hendaknya tetap beribadah kepada Allah di saat-saat sempit. Nabi Yusuf ‘alaihis salam mengajak manusia kepada Allah, dan ketika di penjara ia pun tetap melakukannya. Beliau mengajak dua pemuda yang masuk penjara bersamanya kepada tauhid dan melarang keduanya dari perbuatan syirk.

104. Seorang da’i perlu memperhatikan keadaan mad’u (orang yang didakwahi), misalnya dengan berdakwah saat mad’unya sedang menghadapkan perhatian kepadanya.

105. Seorang da’i dalam berdakwah hendaknya mendahulukan yang paling penting di antara sekian yang penting.

106. Seorang yang terjatuh dalam penderitaan, tidak mengapa meminta pertolongan kepada orang yang mampu menolongnya atau dengan memberitahukan keadaannya, dan bahwa hal ini bukanlah mengeluh kepada makhluk.

107. Seorang mu’allim (pengajar) hendaknya menggunakan keikhlasan yang sempurna dalam mengajarnya dan tidak menjadikan mengajar sebagai sarana untuk memperoleh harta, kedudukan atau manfaat, dan hendaknya ia tidak enggan mengajar ketika penanya atau murid tidak melakukan hal yang dibebankan oleh pengajar.

108. Hendaknya orang yang ditanya menunjukkan kepada penanya sesuatu yang bermanfaat baginya yang terkait dengan pertanyaannya, demikian pula menyertakan sesuatu atau jalan yang memberinya manfaat di dunia dan akhirat.

109. Seseorang tidaklah tercela ketika berusaha menghindarkan tuduhan yang ditimpakan kepadanya dan meminta dibersihkan darinya, bahkan ia tetap terpuji, sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam enggan keluar dari penjara sampai dirinya benar-benar bersih dari tuduhan yang menimpanya.

110. Keutamaan ilmu, ilmu hukum dan syari’at, ilmu takwil mimpi, ilmu mendidik dan mengatur (memenej).

111. Ilmu takwil mimpi termasuk ilmu syar’i, yang disukai mempelajari dan mengajarkannya.

112. Tidak mengapa seorang memberitahukan kemampuan dirinya berupa ilmu atau amal jika ada maslahatnya, dan tanpa maksud riya’, serta selamat dari dusta.

113. Memimpin tidaklah tercela, jika ia mampu menunaikan hak-hak Allah dan hamba-hamba-Nya semampunya, dan tidak mengapa memintanya apabila ia lebih tinggi tarafnya. Yang tercela adalah jika ia tidak memiliki kecukupan, atau ada orang lain yang semisalnya, atau yang lebih tinggi daripadanya, atau ia tidak menginginkan untuk menegakkan perintah Allah, atau berkeinginan sekali untuk memperolehnya.

114. Allah Subhaanahu wa Ta’aala Mahaluas kepemurahan-Nya, Dia memberikan kepada hamba-Nya kebaikan di dunia dan akhirat, dan bahwa kebaikan akhirat diperoleh dengan dua sebab; iman dan takwa, dan bahwa kebaikan akhirat lebih baik daripada kebaikan dunia. Demikian juga seorang hamba hendaknya mendoakan kebaikan untuk dirinya, merindukan pahala Allah untuk dirinya, dan tidak membiarkan dirinya bersedih saat melihat orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dunia karena dirinya tidak mampu, bahkan hendaknya ia hibur dirinya dengan pahala Allah di akhirat dan karunia-Nya yang besar.

115. Pengumpulan rezeki jika maksudnya memberikan juga kepada yang lain tanpa ada madharrat yang menimpa mereka, maka tidak mengapa. Hal itu, karena Yusuf ‘alaihis salam memerintahkan untuk mengumpulkan rezeki dan makanan di tahun-tahun yang subur sebagai persiapan menghadapi kemarau panjang, dan bahwa hal ini tidaklah bertentangan dengan tawakkal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Bahkan dalam bertawakkal kepada Allah, hendaknya seorang hamba melakukan sebab yang bermanfaat di dunia dan akhirat.

116. Pandainya Nabi Yusuf ‘alaihis salam mengelola harta.

117. Disyari’atkannya menjamu tamu, dan bahwa hal tersebut termasuk sunnah para rasul.

118. Su’uzzhan (buruk sangka) ketika ada qarinah (tanda) yang menunjukkan kepadanya adalah tidak terlarang dan tidak haram.

119. Melakukan sebab untuk menolak bahaya ‘ain atau perkara yang tidak diinginkan lainnya atau melakukan sebab yang dapat mengangkatnya setelah menimpa tidaklah dilarang, meskipun segala sesuatu tidak terjadi kecuali dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya.

120. Bolehnya menggunakan tipu daya yang dengannya tercapai hak, dan bahwa mengetahui cara-cara tersembunyi yang dapat mencapai maksud termasuk hal terpuji. Yang dilarang adalah mencari celah untuk menggugurkan kewajiban atau mengerjakan perbuatan haram.

121. Sepatutnya bagi orang yang hendak menyamarkan orang lain terhadap sesuatu yang tidak ingin diketahui, ia menggunakan sindiran-sindiran baik yang berupa perkataan atau perbuatan yang dapat membuatnya tidak terjatuh ke dalam dusta.

122. Tidak boleh bagi seseorang bersaksi kecuali sesuai yang dia ketahui, dan hal ini terwujud dengan menyaksikan langsung atau mendapat kabar dari orang yang terpercaya dan hatinya tenteram kepadanya.

123. Ujian besar yang menimpa Nabi Ya’qub ‘alaihis salam, di mana Beliau berpisah dengan anak yang dicintainya dalam waktu yang cukup lama, tidak kurang dari 15 tahun, dan dalam waktu yang cukup lama itu kesedihan terus menyelimuti dirinya. Kemudian ujian bertambah lagi dengan berpisahnya Beliau dengan saudara kandung Yusuf, yaitu Bunyamin. Meskipun demikian, Beliau tetap bersabar karena perintah Allah dan mengharap pahalanya. Beliau hanya mengeluh kepada Allah, dan tidak mengeluh kepada makhluk.

124. Jalan keluar datang ketika penderitaan semakin besar, dan bahwa setelah kesulitan ada kemudahan. Dari sini diketahui, bahwa Allah menguji wali-wali-Nya dengan kesulitan dan kemudahan, dan dengan kesempitan dan kelapangan untuk menguji kesabaran dan rasa syukur mereka, sehingga dengan begitu keimanan, keyakinan dan pengetahuan mereka bertambah.

125. Bolehnya seseorang memberitahukan keadaan yang dirasakan, seperti sakit, miskin, dsb. selama tidak marah-marah atau kesal.

126. Keutamaan takwa dan sabar, dan bahwa kebaikan yang diperoleh di dunia dan akhirat di antara atsar (pengaruh) takwa dan sabar, dan bahwa akibat baik yang diperolehnya adalah sebaik-baik akibat.

127. Sepatutnya bagi orang yang diberi nikmat oleh Allah setelah mendapatkan kesulitan dan kekurangan untuk mengakui nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.

128. Kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada Yusuf ‘alaihis salam, di mana Allah merubah keadaannya dari keadaan yang satu kepada keadaan yang berikutnya, dan memberikan kesulitan dan cobaan kepadanya agar ia mencapai derajat yang tinggi.

129. Keutamaan tidak membalas keburukan orang lain dengan keburukan yang serupa, tetapi membalasnya dengan kebaikan dan memaafkan.

130. Sepatutnya seorang hamba senantiasa mencari perhatian Allah dalam menguatkan imannya, mengerjakan sebab-sebab yang dapat mecapainya, serta meminta kepada Allah husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik) dan nikmat yang sempurna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.