Tafsir Al Qur’an SUrat Al Kahfi Ayat yang ke: 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, dan 31.
Menceritak tentang kisah Ashabul Kahfi yang menjelaskan bahwa hari kebangkitan dan hari kiamat itu pasti datangnya, perselisihan tentang berapa jumlah pemuda penghuni gua/Ashabul Kahfi termasuk anjingnya. Konsep tentang pengucapan insya Allah (artinya jika Allah menghendaki) beserta faedahnya. Lalu menjelaskan tenang lamanya Ashabul Kahfi tinggal didalam gua. Perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar tidak mementingkan orang-orang terkemuka saja dalam berdakwah. Kemudian menjelaskan tentang azab bagi orang yang zalim dan balasan surga bagi orang beriman; surga ‘Adn, yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.
Baca juga: Tafsir Al Kahfi Ayat 9-20
Ayat 21-22: Menetapakan adanya kebangkitan dan hari Kiamat dengan tampilnya As-habul Kahfi setelah tidur selama ratusan tahun dan perselisihan manusia dalam hal jumlah mereka.
Terjemah Surat Al Kahfi Ayat 21-22
21. Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar mereka tahu, bahwa janji Allah benar[1], dan bahwa (kedatangan) hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka[2] berselisih tentang urusan mereka[3] maka mereka berkata, “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Kami pasti akan mendirikan sebuah rumah ibadah di atasnya[4].”
22. Nanti (ada orang yang akan) mengatakan[5], “(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya,” dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) lima orang, yang keenam adalah anjingnya[6],” sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan[7], “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya[8].” Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja[9] dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada siapa pun[10].
Ayat 23-24: Bimbingan Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam agar apa yang ingin Beliau lakukan dimasukkan ke dalam kehendak Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Terjemah Surat Al Kahfi Ayat 23-24
23. [11]Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,”
24. Kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.”[12] Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa[13] dan [14]katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”
Ayat 25-26: Penjelasan lamanya mereka (As-habul Kahfi) tinggal di gua.
Terjemah Surat Al Kahfi Ayat 25-26
25. [15]Dan mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.
26. Katakanlah, “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); milik-Nya semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain Dia[16], dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan[17].”
Ayat 27-28: Petunjuk-petunjuk dalam berdakwah, perintah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mementingkan orang-orang terkemuka saja dalam berdakwah, dan agar Beliau tetap bersama orang-orang yang saleh.
Terjemah Surat Al Kahfi Ayat 27-28
27. [18]Dan bacakanlah[19] (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya[20]. Dan engkau tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain kepada-Nya[21].
28. Dan bersabarlah engkau (Muhammad)[22] bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya[23]; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini[24]; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami[25], serta menuruti keinginan(hawa nafsu)nya[26] dan keadaannya sudah melewati batas[27].
Ayat 29-31: Sifat azab yang ditimpakan kepada orang-orang yang zalim dan balasan untuk orang-orang mukmin di akhirat.
Terjemah Surat Al Kahfi Ayat 29-31
29. Dan Katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu[28]; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir[29].” [30]Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim[31], yang gejolaknya mengepung mereka[32]. Jika mereka meminta minum, mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah[33]. (Itulah) minuman yang paling buruk[34] dan tempat istirahat yang paling jelek.
30. [35]Sungguh, mereka yang beriman[36] dan beramal saleh[37], Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu[38].
31. Mereka itulah yang memperoleh surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; (dalam surga itu) mereka diberi hiasan dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal[39], sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah[40]. (Itulah) sebaik-baik pahala, dan tempat istirahat yang indah;
[1] Yaitu janji-Nya akan membangkitkan manusia. Hal itu, karena yang berkuasa menidurkan mereka dalam waktu yang lama dan membiarkan mereka dalam keadaan seperti itu tanpa diberi makanan menunjukkan bahwa Dia berkuasa menghidupkan orang-orang yang telah mati.
[2] Orang-orang mukmin dan orang-orang kafir.
[3] Yang mereka perselisihkan itu adalah tentang hari kiamat; apakah hal itu akan terjadi atau tidak dan apakah kebangkitan pada hari kiamat dengan jasad atau roh ataukah dengan roh saja. Maka Allah mempertemukan mereka dengan pemuda-pemuda dalam kisah ini untuk menjelaskan bahwa hari kiamat itu pasti datang dan kebangkitan itu adalah dengan jasad dan roh. Pertemuan mereka dengan As-habul Kahfi ini menambah keyakinan kaum mukmin dan sebagai hujjah terhadap orang-orang yang mengingkari kebangkitan, dan Allah memasyhurkan kisah mereka (Ashabul Kahfi), meninggikan derajat mereka sampai orang-orang yang mengetahui tentang keadaan mereka (As-habul Kahfi) begitu memuliakan mereka.
[4] Yakni agar kita beribadah kepada Allah di situ, mengenang mereka dan mengingat peristiwa mereka. Hal ini adalah perkara yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dicela pelakunya karena bisa mengarah kepada perbuatan syirk sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam yang menyembah patung orang-orang saleh di antara mereka. Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak tercela, bahkan susunannya hanyalah menerangkan bagaimana para penghuni gua (As-habul Kahfi) itu dimuliakan sekali oleh manusia ketika itu. Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa orang yang pergi membawa agamanya, maka akan Allah menyelamatkannya dari fitnah, dan bahwa orang yang ingin sekali memperoleh perlindungan dari Allah, maka Allah akan melindunginya. Demikian juga menunjukkan, bahwa barang siapa yang siap menerima kehinaan di jalan Allah dan mencari keridhaan-Nya, maka akhirnya adalah kemuliaan dari arah yang tidak diduga-duga.
[5] Yang dimaksud dengan orang yang akan mengatakan ini adalah orang-orang ahli kitab dan yang lainnya pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[6] Dua pendapat ini dikemukakan oleh orang-orang Nasrani Najran.
[7] Yakni kaum mukmin.
[8] Kedua pendapat sebelumnya (yakni pendapat Nasrani Najran) disebut sebagai “terkaan terhadap yang gaib”, sedangkan pendapat yang terakhir yang menyebutkan bahwa jumlah mereka adalah tujuh orang, sedangkan yang kedelapan adalah anjingnya, menunjukkan bahwa pendapat inilah pendapat yang benar karena tidak disebut sebagai terkaan terhadap yang gaib. Akan tetapi, karena mengetahui jumlah mereka kurang begitu bermaslahat bagi manusia, baik terkait dengan agama maupun dunia, maka pada lanjutan ayatnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.”
[9] Yakni perbantahan yang dibangun atas dasar ilmu dan keyakinan, dan di dalamnya pun ada faedahnya. Adapun perbantahan yang didasari atas kejahilan (kebodohan), terkaan terhadap yang gaib, atau yang tidak ada faedahnya, seperti jumlah As-habul Kahfi, dsb. maka hanya menghabiskan waktu dan membuat hati senang untuk hal-hal yang tidak ada faedahnya.
[10] Yakni di antara Ahli Kitab. Hal itu tidak lain karena jawaban mereka didasari atas perkiraan yang tidak membuahkan kebenaran. Dalam ayat ini terdapat dalil larangan meminta fatwa kepada orang yang tidak layak berfatwa, hal ini bisa karena kurangnya ilmu dalam masalah yang dipersoalkan atau karena ia kurang peduli terhadap kata-katanya dan lagi tidak punya rasa takut. Dalam ayat ini juga terdapat dalil, bahwa seseorang mungkin dilarang dimintai fatwa tentang suatu masalah, namun tidak pada masalah lain (yakni tidak mutlak; tidak bolehnya sama sekali bertanya kepadanya).
[11] Larangan ini meskipun ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berlaku umum kepada umat Beliau, sehingga seseorang dilarang mengatakan terhadap perkara-perkara yang akan datang, “Saya akan melakukannya besok.” Tanpa menyertakan kalimat “Insya Allah” (jika Allah menghendaki). Yang demikian, karena di dalamnya sama saja berkata tentang hal yang masih gaib. Menyebutkan “Insya Allah” ada beberapa faedah, di antaranya berharap kemudahan dari Allah dan keberkahan-Nya, serta menunjukkan permintaan dari seorang hamba kepada Tuhannya.
[12] Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.
[13] Oleh karena manusia memiliki sifat lupa sehingga mungkin ia tidak menyebut “Insya Allah”, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan kepadanya agar menyebutkan kalimat itu setelah ingat. Dari firman-Nya, “Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa” terdapat perintah untuk mengingat Allah dan agar jangan sampai termasuk orang-orang yang lalai.
[14] Oleh karena seorang hamba butuh kepada taufik Allah agar tetap di atas yang benar, dan tidak salah dalam ucapan dan tindakannya, maka Allah memerintahkan mengatakan kata-kata di atas.
[15] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala melarang Beliau bertanya kepada Ahli Kitab tentang As-habul Kahfi karena mereka tidak memiliki ilmu terhadapnya, sedang Allah Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mengetahui yang gaib dan yang nampak, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan lama mereka tinggal di gua, dan bahwa yang mengetahuinya hanya Dia, karena hal tersebut termasuk perkara gaib.
[16] Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang mengatur alam semesta, baik secara umum maupun khusus. Pengaturan-Nya yang bersifat umum adalah pengaturan-Nya terhadap alam semesta (dengan mencipta dan mengatur), sedangkan pengaturan-Nya yang bersifat khusus adalah pengaturan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dia pula yang mengatur As-habul Kahfi dengan kelembutan dan kepemurahan-Nya, serta tidak menyerahkan mereka kepada salah seorang pun di antara makhluk-Nya.
[17] Keputusan atau hukum di sini mencakup keputusan-Nya di alam semesta, dan keputusan-Nya dalam syari’at. Dia yang memberikan keputusan terhadap makhluk-Nya baik secara qadari (terhadap alam semesta) maupun syar’i (dalam syari’at-Nya).
[18] Oleh karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang mengetahui hal gaib di langit dan di bumi, dan makhluk tidak mempunyai jalan untuk mengetahuinya kecuali dengan jalan yang telah diberitahukan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Al Qur’an itulah yang isinya banyak perkara gaib, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan untuk membacanya.
[19] Ada pula yang menafsikan dengan, “Ikutilah (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu…dst.” Karena tilawah juga berarti ittiba’ (mengikuti). Tentunya dengan mengetahui maknanya dan memahaminya, membenarkan beritanya, mengikuti perintah dan menjauhi larangannya.
[20] Yakni karena kebenaran, keadilan dan keindahannya di atas semuanya. Oleh karena kesempurnaannya, maka mustahil dirubah. Dalam ayat ini terdapat ta’zhim (pengagungan) terhadap Al Qur’an, dan di dalamnya terdapat dorongan untuk mendatanginya.
[21] Oleh karena hanya kepada-Nya tempat perlindungan dalam semua urusan, maka jelas bahwa Dialah yang satu-satunya berhak diibadahi dan diharap di waktu lapang maupun sempit, dibutuhkan dalam setiap keadaan dan diminta dalam semua kebutuhan.
[22] Yakni tahanlah dirimu.
[23] Bukan mengharapkan perhiasan dunia. Mereka ini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang fakir. Dalam ayat ini terdapat perintah untuk bergaul dengan orang-orang yang baik meskipun mereka dianggap rendah oleh manusia atau keadaannya miskin.
[24] Karena hal itu berbahaya dan tidak bermanfaat serta memutuskan maslahat agama, di mana di dalamnya terdapat ketergantungan hati kepada dunia, sehingga pikiran dan perhatian tertuju kepadanya dan hilang dari hatinya cinta kepada akhirat. Yang demikian karena keindahan dunia sangat menakjubkan bagi orang yang memandangnya, mempengaruhi akalnya, sehingga membuat hati lalai dari mengingat Allah, dan akhirnya ia akan mendatangi kelezatan dunia dan mengikuti kesenangan hawa nafsunya, waktunya pun menjadi sia-sia dan keadaannya menjadi tidak terkendali, sehingga ia menjadi orang yang rugi dan menyesal selama-lamanya.
[25] Yakni dari Al Qur’an atau dari mengingat Allah. Hal itu karena ia lupa kepada Allah, maka Allah hukum dengan melalaikan hatinya dari mengingat-Nya.
[26] Meskipun di sana terdapat kerugian dan kebinasaan bagi dirinya.
[27] Yakni maslahat agama dan dunianya menjadi sia-sia. Orang yang seperti ini dilarang Allah untuk diituruti, karena menurutinya akan membuatnya terus mengikuti. Bahkan yang layak diikuti adalah orang yang hatinya penuh rasa cinta kepada Allah, mengikuti keridhaan-Nya, di mana ia mendahulukan keridhaan Allah di atas hawa nafsunya, sehingga ia dapat menjaga waktunya dan keadaannya pun menjadi baik, perbuatannya istiqamah serta mengajak manusia kepada nikmat yang dikaruniakan Allah itu kepadanya. Dalam ayat ini terdapat anjuran berdzikr, berdoa dan beribadah di penghujung siang (pagi dan petang), karena Allah memuji mereka karena perbuatan itu, dan setiap perbuatan yang dipuji Allah menunjukkan bahwa Allah mencintainya, dan jika perbuatan itu dicintai-Nya, maka berarti Dia memerintahkan dan mendorongnya.
[28] Yakni telah jelas mana petunjuk dan mana kesesatan. Yang demikian karena Allah telah menerangkannya melalui lisan rasul-Nya. Ketika kebenaran telah jelas dan tidak ada lagi syubhat, maka barang siapa yang ingin beriman, hendaknya ia beriman, dan barang siapa yang menghendaki kafir, maka telah tegak hujjah baginya karena telah jelas yang benar, dan ia tidak dipaksa beriman.
[29] Kalimat ini sebagai ancaman bagi mereka, dan bukan berarti tidak diperanginya orang-orang yang kafir.
[30] Namun perlu diketahui dan diingat.
[31] Yakni yang menzalimi dirinya dengan kufur, kefasikan dan kemaksiatan.
[32] Tidak ada lagi jalan keluar bagi mereka untuk meloloskan diri.
[33] Lalu bagaimana dengan perut dan usus mereka. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka).– Dan (azab) untuk mereka cambuk-cambuk dari besi.” (Terj. Al Hajj: 20-21) wal ‘iyaadz billah.
[34] Karena tidak menghilangkan dahaga dan tidak meringankan siksa, bahkan menambah azab di atas azab.
[35] Kemudian Allah menyebutkan kelompok yang kedua.
[36] Kepada rukun iman yang enam.
[37] Yang wajib maupun yang sunat.
[38] Yakni orang yang mengerjakannya karena mencari keridhaan Allah dan sesuai sunnah Rasul-Nya. Amal orang yang seperti ini tidak akan disia-siakan Allah, bahkan Allah akan menjaganya dan akan membalasnya dengan penuh sesuai amal mereka, sesuai karunia Allah dan ihsan-Nya.
[39] Baik laki-lakinya maupun wanitanya.
[40] Hal ini menunjukkan sempurnanya peristirahatan mereka, dan telah hilang rasa lelah dari mereka, karena mereka telah bermujahadah (berkorban) di jalan Allah ketika di dunia dengan kemampuannya. Di samping itu, mereka dilayani oleh para pelayan untuk membawakan apa yang mereka inginkan. Kita memohon kepada Allah agar Dia memasukkan kita ke dalamnya meskipun amal kita begitu sedikit, Allahumma amin.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat Al Kahfi, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Kandungan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.